http://arti.master.irhamna.googlepages.com/bintang.js' type='text/javascript' galaxy: Mei 2012
BACA DAN TEMUKAN HAL-HAL MENARIK

Laman

SELAMAT MEMBACA DAN TEMUKAN HAL-HAL MENARIK

Kamis, 31 Mei 2012

ANALISIS NOVEL "KARENA KUTAHU ENGKAU BEGITU"

BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1 Tokoh
    Dalam cerita fiksi perwatakan erat kaitannya dengan alur, sebab alur yang meyakinkan terletak pada gambaran watak-watak yang mengambil bagian di dalamnya, di samping perwatakan dicipta sesuai dengan alur tersebut. Peristiwa0peristiwa cerita yang didukung oleh pelukisan watak-eatak tokoh dalam suatu rangkaian alur itu menceritakan manusia dengan bebagai persoalan, tantangan, dalam kehidupannya. Cerita ini dapat ditelusuri dan diikuti perkembangannya lewat perwatakan tokoh cerita atau penokohan cerita. “penokohan” di sini berasal dari kata “tokoh” yang berarti pelaku. Karena yang dilukiskan mengenai watakwatak tokoh atau pelakucerita, maka disebut perwatakan atau penokohan.
Dengan demikian perwatakan atau penokohan adalah pelukisan tokoh/pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita. Moh. Thani Ahmad (dalam Dewan Bahasa 1974 : 509) menyebutkan bahwa sifat menyeluruh dari manusia yang disorot, termasuk perasaan, keindahan, cara berpikir, cara bertindak, dan sebagainya.
Pengertian tokoh di atas menurut Panui Sudjiman adalah individu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami peristiwa atau lakuan dalam cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam cerita fiksi dapat berkembang perwatakannya baik segi fisik maupun mentalnya. Forster membagi perwatakan tokoh atas watak bulat (round character) dan watak datar (flat character).
Dalam cerita fiksi watak datar (disebut”watak latar” atau “watak pipih” menurut istilah Malaysia) mencerminkan okoh yang wataknya sederhana, yang dilukiskan satu segi wataknya saja, dan watak ini tidak/kurang berkembang. Dalam watak datar ini menurut Panutis adalah tokoh strectip, selalu ibu tiri yang selalu dilukiskan berperangai kejam. Tokoh datar banyak digunakan dalam cerita-cerita wayang dan cerita0cerita didaktis yang pada mumnya tidak memerlukan perkembangan watak tokoh. Selanjutnya jika lebih dari satu cirri/segi watak yang ditampilkan di dalam cerita, sehingga tokoh itu dapat dibedakan dari tokoh-tokoh yang lain, maka ia disebut memiliki watak bulat (round character) yang kompleks perwatakannya, Nampak segala seginya, kekuatan maupun kelemahannya, dan tidak menimbulkan kesan “hitam-putih”, serta terus berkembang hamper sepanjang cerita.
Menurut Mido (Eri, 2005 : 36) tokoh dalam cerita mungkin saja hanya satu orang atau lebih dari satu orang. Kalau lebih dari satu orang maka ditinjau dari segi perannya. Tokoh adalah pemeran dalam suatu cerita, karena tanpa tokoh sebuah cerita tidak akan ada. Dan tokoh sering juga disebut penggambaran watak dan kepribadian secara tidak langsung.
Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987 : 79)menegaskan, “para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama, sedangkan tokoh yang memiliki peranan yang tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu”.
Tokoh masing-masing memiliki peran dan fungsi tersendiri, ada yang sering muncul atau sering diceritakan (sentral) dan bahkan hanya sebagai peran tambahan. Dalam hal ini Sumardjo (1988) mengungkapkan bahwa tokoh berdasarkan fungsinya memiliki peran sebagai berikut :                                                                     
1.    TokohSentral                                                                                                                                            Tokoh Sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibagi menjadi dua, yaitu :                                                                                                                              
a.    Tokoh sentral protagonis
Tokoh sentral protagonist adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.                                                                                                                              
b.     Tokoh sentral antagonis 
Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
2.    Tokoh Bawahan   
          Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu :
                                                                                                                
a.    Tokoh andalan  
Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).
b.    Tokoh tambahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c.    Tokoh lataran 
Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.                                           
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku atau pemeran dari dalam cerita yang menitikberatkan kepada kegiatannya sehari-hari dalam kehidupan suatu karya sastra. Peran dan fungsi tokoh masing-masing memiliki keragaman, karena peran seorang tokoh dalam sebuah cerita mewakili karakter dari karya itu masing-masing berbeda, maka dari itulah seorang tokoh memiliki keragaman ada sebagai tokoh sentral protagonis yang selalu berbuat baik (positif) dan tokoh sentral antagonis yang bertentangan dengan protagonis (negatif) dan adapula tokoh bawahan yaitu tokoh pemeran pembantu tokoh utama dalam sebuah cerita.
Kemudian penokohan, penokohan merupakan keseluruhan gerak laku yang terdorong oleh motivasi-motivasi kejiwaan yang disuguhkan oleh pengarang dalam sebuah karya sastra.
Menurut KBBI (2000 : 1149) bahwa “penokohan adalah sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran, perbuatan, tabiat dan budi pekerti”. Dalam hal ini Tarigan juga berpendapat, (1982 : 141) bahwa perwatakan atau karakterisasi adalah proses yang digunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fisiknya.
Selanjutnya Semi (1990 : 29) menegaskan tentang tokoh cerita sebagai berikut :
“Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi)dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan, perilaku para tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan, dan sebagainya ”.
Ada berbagai upaya yang akan ditempuh pengarang dalam membangun watak pertokohan seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin (1987 : 80-81), yakni:
“Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya dengan cara:                                     
1.    Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya.
2.    Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya
3.    Menunjukan bagaimana perilakunya.
4.     Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tantang dirinya sendiri.
5.    Memahami bagaimana jalan pikirnya. 
6.    Melihat tokoh lain berbicara tentangnya.
7.    Melihat tokoh lain berbincang dengannya.      
8.    Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya.      
9.    Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perwatakan adalah keseluruhan sifat tokoh atau pelaku yang digambarkan oleh pengarang didalam karyanya. Sifat ini merupakan segala tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan dan keadaan fisik tokoh tersebut. Penokohan ini selalu dihubungkan dengan tokoh atau pelaku yang ada dalam sebuah cerita. Setiap peristiwa atau kejadian yang ada didalam sastra berlangsung sedemikian rupa dengan adanya tokoh cerita.

2.2 Alur
    Rentang pikiran atau mungkin juga disebut dengan istilah jalan cerita dan sebagainya. Barangkali alur berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya. Sebab seperti apa yang dikatakan J.S. Badudu dalam bukunya yang berjudul Inilah Bahasa Indonesia Yang Baik. Bahwa bahasa yang tumbuh baik itu dalam karya sastra senantiasa berubah dan perubahan itu meliputi bidang bahasa secara menyeluruh termasuk soal istilah alur (plot).
Semi (1990 : 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interaksi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian bagian seluruh fiksi. Sedangkan yang dikemukakan oleh Rene Wellek dan Austin Warren(1985 : 12) bahwa alur adalah peristiwa-peristiwa yang dirangkai dalam suatu urutan yang logis. Rangkaian peristiwa itu menurut forster, haruslah punya hubungan kausal atau sebab-akibat.
Dari pendapat diatas jelaslah bahwa alur itu sangat penting untuk merangkaikan peistiwa yang akan ditampilkan oleh pengarang dalam suatu cerita yaitu dengan memperhatikan kepentingan dan berkembangnya suatu cerita itu dan menggambarkan bagaimana setiap tindakan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain serta bagaimana seorang tokoh itu terkait dalam kesatuan cerita.
Dalam hal ini Aminuddin berpendapat (1987 : 83) bahwa “alur pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita, dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita”.
Alur juga merupakan suatu rentetan peristiwa yang diurutkan peristiwa yang akan ditampilkan dengan memperlihatkan kepentingan dalam cerita. Alur suatu cerita menggambarkan bagaimana setiap tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lain atau mempunyai proses kausal atau sebab-akibat, dan bagaimana tokoh menyatu dengan cerita.
Juga dalam hal ini, Nurgiyantoro (2005 : 68) berpendapat bahwa “alur merupakan aspek terpenting yang harus dipertimbangkan, karena aspek inilah juga yang pertama-tama menetukan menarik tidaknya suatu cerita dan memiliki kekuatan untuk mengajak pembaca secara total untuk mengikuti cerita.
Adanya alur cerita akan terbentuk suatu tahapan-tahapan yang menjalin suatu cerita melalui para pelaku dalam suatu pengisahan, dan biasanya juga alur adalah elemen penting yang menyelaraskan gagasan tentang siapa, apa, bagaimana, dimana, mengapa, dan kapan. Dengan kata lain alur itu merupakan jalinan asal muasal kejadian dalam perkembangannya sebuah cerita. Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987 : 83) mendefenisikan plot sebagai berikut, plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Kemudian plot merupakan rangkaian kisah tentang peristiwa yang bersebab, dijalin dengan melibatkan konflik atau masalah yang pada akhirnya diberi peleraian.
Selanjutnya Lukens (Nurgiyantoro, 2005:68) mengemukakan bahwa alur merupakan urutan kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh dalam aksinya. Sejalan dengan itu Muchtar Lubis(dalam Eri, 2005 : 29) membagi alur menjadi lima tahapan secara berurutan yaitu :
1. Exposition (pengarang mulai melukiskan keadaan sesuatu)
2. Generating (peristiwa mulai bergerak)
3. Ricing Action (keadaan mulai memuncak)
4. Climax (puncak)
5. Denoument (penyelesaian)
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot merupakan suatu rangkaian peristiwa dengan peristiwa yang lain dengan melibatkan konflik atau masalah serta diberi penyelesaiannya dan peristiwa itu terjadi berdasarkan sebab akibat dan alur akan melibatkan masalah peristiwa dan aksi yang dilakukan dan ditampakan kepada tokoh cerita.
Struktur alur diatas tersebut tentu saja tidak mutlak harus dipatuhi oleh setiap pengarang. Pengarang bebas menyusun alur ceritanya sesuai dengan selera masing-masing. Malahan pengarang-pengarang sastra moderen sekarang lebih suka menggunakan sorot balik (flashback atau backtracking). Jika urutan kronologis peristiwa-peristiwa yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka terjadilah sorot balik (Panuti S. dalam PBI no.2 juni 1987 : 81). Sorot balik ini biasanya ditampilkan dalam dialog, dalam mimpi, atau lamunan tokoh yang menelusuri kembali jalan hidupnya.



2.3 Latar
    Latar merupakan salah satu aspek yang penting, karena setiap gerak laku tokoh-tokoh cerita yang menimbulkan peristiwa-peristiwa dalam cerita berlangsung dalam suatu tempat, ruang, dan waktu tertentu.
Menurut Cleanth Brooks dalam An Aproach Of Literature (1952 :819) latar adadlah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang dalam cerita. Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature, 1956: 221) mengemukakan, latar adalah lingkungan alam sekitar, terutama lingkungan dalam yang dipandang sebagai pengekspresian watak secara metonimik atau metaforik.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa latar adalah situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita. Tercakup didalamnya lingkungan geografis, rumah tangga, pekerjaan, benda-benda dan alat-alat yang berkaitan dengan tmpat terjadinya peritiwa cerita waktu, suasana dan periode sejarah.
Dalam bukunya An Introduction to the Study of Literature (1963) Hudson membagi latar cerita ini atas latar fisik (material) dan latar sosial. Termasuk dalam latar fisik adalah latar yanf berupa benda-benda fisik seperti bangunan rumah, kamar, perabotan, daerah, dan sebagainya. Latar sosial meliputi pelukisan keadaan sosial budaya masyarakat, seperti adat istiadat, cara hidup, bahasa kelompok sosial dan sikap hidupnya, dan lain-lain yang melatari peristiwa cerita.
 Latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Dalam arti yang lebih luas, latar mencakup tempat, waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dlam kegiatan itu. (Tarigan, 1982 : 157)


Menurut Semi (Oktober, 1993 : 5),
“Latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk didalam latar ini adalah tempat atau ruang yang dapat diamati seperti kampus, di sebuah kapal yang berlayar ke hongkong, dijakarta, di sebuah puskesmas, di dalam penjara di paris dan sebagainya. Termasuk di dalam unsure latar atau landas tumpu ini adalah waktu, hari, tahun, musim atau periode sejarah misalnya di zaman perang kemerdekaan, di saat upacara sekaten dan sebagainya. Orang atau kerumunan yang berada di sekitar tokoh juga dapat di masukan ke dalam unsur latar, namun tokoh itu sendiri tidak termasuk latar.

Selanjutnya, Aminuddin (1987 : 67) berpendapat bahwa:
“setting (latar) juga berlaku dalam cerita fiksi karena peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita fiksi juga selalu di latar belakangi oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Akan tetapi, dalam karya fiksi setting atau latar bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis, setting juga memiliki fungsi psikologis sehingga setting pun mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yangmenggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya. Dalam hal ini telah diketahui adanya setting yang metaforis”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar adalah ruang atau tempat bahkan periode sejarah yang dapat diamati suasana terjadinya peristiwa di dalam karya sastra atau dengan kata lain setting adalah peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987: 68) membedakan antara setting (latar) yang bersifat fisikal dengan setting (latar) yang bersifat psikologis yakni:
1. setting yang bersifat fisikal berhubungan dengan tempat, misalnya kota Jakarta, daerah pedesaan, pasar, sekolah, dan lain-lain serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan makna apa-apa, sedangkan setting psikologis adalah setting berupa benda-benda dalam lingkungan tertentu yang mampu menuansakan suatu makna serta mampu mengajak emosi pembaca.
2. setting fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan setting psikologis dapat berupa nuansa maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu.
3. untuk memahami setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat dariapayanga tersirat, sedangkan pemahamann terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran.
4. terdapat saling pengaruh dan petumpangtindihan antara setting fisikal dengan setting psikologis.
Sejalan dengan itu, Sudjiman (Maini 1997 : 4 ) berpendapat bahwa pertama-tama latar memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya. Selain itu, adanya latar berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para pelaku. Dan menurut Jakob Sumardjo (1988) latar sebagai berikut :
Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya (dapat di pahami melalui panca indra).
Latar fisik dapat di bedakan menjadi dua yaitu :
1. latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
2. latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasipemikiran tertentu.
Kemudian latar sosial, latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial, sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, serta meyakini adanya magis berupa pawang dan lain-lain.


BAB III
 METODE

3.1 Pendekatan Analisis
Adapun metode yang di gunakan pada analisis novel ini yaitu metode penelitian dengan pendekatan struktural. Tidak seperti pada pendekatan lain, pendekatan struktural merupakan pendekatan yang sudah sangat sering di gunakan. Hal ini menandakan bahwa pendekatan ini mudah di pahami dan di laksanakan dalam pengkajian sastra. Pendekatan ini bertujuan untuk membongkar dan memperkaya secara cermat, keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh.
Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra yaitu tema, alur, tokoh, latar, dan gaya bahasa. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi tujuan analisis ini yaitu pengkajian terhadap pencitraan unsur novel Karena Kutahu Engkau Begitu tetapi dalam analisis in hanya dititikberatkan pada pengkajian dan pencitraan baik tokoh, alur, maupun latar, inilah yang menjadi alasan mengapa penulis menggunakan pendekatan struktural ini.
Karena tujuan dari analisis adalah pengkajian dan pencitraan baik tokoh, alur, maupun latar dalam novel Karena Kutahu Engkau Begitu karya Almino Situmorang, maka metode penelitian yang dipakai adalah metode deskriptif. Semua data yang didapatkan akan dideskripsikan, dianalisis, dan diinterpretasikan berdasarkan kategori yang sudah ditetapkan.

3.2 Sumber dan Sampel Data
Populasi analisis adalah sebuah novel  yang berjudul Karena Kutahu Engkau Begitu  karya Almino Situmorang. Sampelnya adalah semua kalimat, kata, frase, anak kalimat yang terkait dengan pendikripsian dari alur, tokoh, maupun.latar novel ini.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dipakai dalam pengambilan data adalah ‘baca-catat’. Dalam artian bahwa penganalisis akan mengambil kalimat, kata, frase, anak kalimat apa pun yang dianggap sesuai dengan maksud dan tujuan analisis novel ini
3.4 Teknik Analisis Data
Data akan dianalisis dan akan dimasukkan ke dalam kategori yang sudah ditetapkan berdasarkan pengkajian dan pencitraan terhadap unsur-unsur pembangun sebuah karya sastra dari semua kalimat, kata, frase, dan anak kalimat tersebut yang ada dalam novel.
Adapun prosedur analisis data pada analisis ini menitikberatkan pada pengkajian unsur tokoh, alur, dan latar dalam novel Karena Kutahu Engkau Begitu adalah sebagai berikut :
1. Membaca teks sastra (dalam hal ini novel Karena Kutahu Engkau Begitu  karya almino Situmorang.
2. Mencari dan menentukan apa yang menjadi unsur-unsur yang membangun dalam hal ini, tokoh, alur, maupun latar dalam novel.

3.  Menganalisis dan mengklasifikasikan tokoh, alur, dan latar sesuai dengan kategori yang telah ditetapkan.
4.  Membuat kesimpulan mengenai hasil analisis data.



























ANALISIS NASKAH DRAMA "SEPASANG MERPATI TUA"


BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Drama
Drama adalah satu bentuk lakon seni yang bercerita lewat percakapan dan action tokokohnya. Akan tetapi, percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action. Meskipun merupakan satu bentuk kesusastraan, cara penyajian drama berbeda dari bentuk kekusastraan lainnya. Novel, cerpen dan balada masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh lewat kombinasi antara dialog dan narasi, dan merupakan karya sastra yang dicetak. Sebuah drama hanya terdiri atas dialog; mungkin ada semacam penjelasannya, tapi hanya berisi petunjuk pementasan untuk dijadikan pedoman oleh sutradara. Oleh para ahli, dialog dan tokoh itu disebut hauptext atau teks utama; petunjuk pementasannya disebut nebentext atau teks sampingan.
Terdapat beberapa definisi drama, yaitu:
1.    Drama adalah kualitas komunikasi, situasi, action (segala apa yang terlihat dalam pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting), dan ketegangan para pendengar atau penonton.
2.    Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action). Jika buku roman menggerakkan fantasi kita, maka dalam drama kita melihat kehidupan manusia diekspresikan secara langsung dimuka kita.
3.    Drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, dan diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan penonton (audience). Harymawan, (1998:1-2).
Dari ketiga pengertian di atas yang dikemukakan oleh Harymawan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa drama adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan diatas pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media percakapan, gerak, dan laku, dengan atau tanpa dekor, yang di dasarkan pada naskah drama tertulis atau secara improvisasi, dengan atau tanpa musik, nyanyian, dan tarian.

2.2 Unsur Intrinsik
Unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri adalah unsur intrinsik. Unsur intrinsi diantaranya adalah:
1.    Tema    
Tema adalah  gagasan/ide/dasar cerita.

2.    Tokoh dan Penokohan
Dalam drama tokoh cerita yang disajikan, walaupun kadang-kadang dialami oleh binatang atau mahluk lain, umumnya dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang berupa manusia. Tokoh cerita adalah orang-orang yang mengambil bagian yang mengalami peristiwa-peristiwa yang digambarkan dalam plot. (Sumardjo dan Zaini K.M, 1987:144)
Adapun sikap dan kedudukan tokoh cerita dalam suatu karya sastra drama beraneka ragam. Ada yang bersifat penting dan digolongkan kepada tokoh utama dan digolongkan tokoh pembantu atau minor, sering kita lihat  baik di telivisi maupun di bioskop kita bertanya siapa pemeran utama dalam cerita tersebut. Artinya kita tahu bahwa yang memerankan tokoh utama dalam cerita itu. Cerita dalam drama ada tokoh yang selalu berbuat kebajikan ada pula yang berbuat kemungkaran, kejahatan dan lain-lain.
Tokoh masing-masing memiliki peran dan fungsi tersendiri, ada yang sering muncul atau sering diceritakan (sentral) dan bahkan hanya sebagai peran tambahan. Dalam hal ini Sumardjo (1988) mengungkapkan bahwa tokoh berdasarkan fungsinya memiliki peran sebagai berikut:                                                                     
1.    Tokoh Sentral   
       Tokoh Sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibagi menjadi dua, yaitu:                                                                                                                              
a.    Tokoh sentral protagonis
       Tokoh sentral protagonist adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikannilai-nilai positif.                                                                                                                              
b.     Tokoh sentral antagonis 
        Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
2.    Tokoh Bawahan   
          Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu :                                                                                                
a.    Tokoh andalan  
Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).
b.    Tokoh tambahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c.    Tokoh lataran 
Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.                                           
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku atau pemeran dari dalam cerita yang menitikberatkan kepada kegiatannya sehari-hari dalam kehidupan suatu karya sastra. Peran dan fungsi tokoh masing-masing memiliki keragaman, karena peran seorang tokoh dalam sebuah cerita mewakili karakter dari karya itu masing-masing berbeda, maka dari itulah seorang tokoh memiliki keragaman ada sebagai tokoh sentral protagonis yang selalu berbuat baik (positif) dan tokoh sentral antagonis yang bertentangan dengan protagonis (negatif) dan adapula tokoh bawahan yaitu tokoh pemeran pembantu tokoh utama dalam sebuah cerita.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang pertama-tama berprakarsa dan dengan demikian berperan sebagai penggerak cerita atau tokoh yang pertama-tama menghadapi masalah dan terlibat kesukaran-kesukaran. Tokoh protagonis biasanya disenangi penonton. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang berperan sebagai penghalang dan masalah bagi protagonis.
Penokohan atau perwatakan dalam drama kebanyakan pemeran mengungkapkan wataknya dengan jalan menjelaskan kepada penonton. Adakalanya sekalipun pemeran atau tokoh mengungkapkan wataknya juga dapat mengungkapkan watak lain artinya bermuka dua. Namun ada cara lain untuk mangungkapkan watak tokoh adalah dengan menampilkan orang kepercayaan. Misalnya supir, pembantu rumah tangga, teman akrab, dan sebagaimya. Dengan munculnya orang kepercayaan ini dalam pentas menyebabkan pemeran utama itu dapat terungkap secara baik, dan dapat pula dengan perilaku atau action. Perilaku ini hendaknya ditampilkan dalam bentuk segi tiga, artinya ada dua perwatakan atau sikap yang bertentangan dan ada satu sikap atau perwatakan yang berada di tengah. (M. Atar Semi, 1998:173)

3.   Alur Cerita atau Plot
Alur cerita atau plot adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain di hubungkan dengan hukum sebab akibat. Artinya peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua (Sumarjo dan Zaini KM,1986:139).
Alur dalam drama mempunyai kekhususan dibandingkan dengan alur fiksi. Adapun kekhususan, kekhususan alur drama ditimbulkan oleh karakteristik drama itu sendiri, yaitu :
a.   Alur mestilah merupakan alur cerita yang dapat dilakukan oleh manusia biasa*dimuka publik penonton.
b.  Alur drama mesti jelas, bila tidak maka akan sukar sekali diteliti penonton.
c.   Alur drama mestilah sederhana dan singkat, dalam arti dia tidak boleh berputar kemana-mana, tetapi berpusat pada suatu peristiwa tersebut. (Semi, 1988:161-162).

4.   Latar   
Latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Dalam arti yang lebih luas, latar mencakup tempat, waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dlam kegiatan itu. (Tarigan, 1982 : 157)
Menurut Cleanth Brooks dalam An Aproach Of Literature (1952 :819) latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang dalam cerita. Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature, 1956: 221) mengemukakan, latar adalah lingkungan alam sekitar, terutama lingkungan dalam yang dipandang sebagai pengekspresian watak secara metonimik atau metaforik.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa latar adalah situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita. Tercakup di dalamnya lingkungan geografis, rumah tangga, pekerjaan, benda-benda dan alat-alat yang berkaitan dengan tmpat terjadinya peritiwa cerita waktu, suasana dan periode sejarah.
Latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Dalam arti yang lebih luas, latar mencakup tempat, waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dlam kegiatan itu. (Tarigan, 1982 : 157)

5.   Amanat   
Amanat adalah pesan atau sisipan nasihat yang disampaikan pengarang melalui tokoh dan konflik dalam suatu cerita.

6.   Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya dalam suatu karangna ciptaanya. Cara pengarang menggunakan sudut pandang adalah cara bercerita orang pertama (memakai aku atau saya) dan cara bercerita orang ketiga.

2.2 Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsure yang mebangun karya sastra dari luar unssr ekstrinsik di antaranya adalah:
1.    Nilai sosial dan budaya adalah nilai yang berkaitan dengan norma yang ada dalam masyarakat dan adat istiadat.
2.    Nilai moral yaitu nilai yang berkaitan dengan akhlak/budi pekerti/susila atau baik buruk tingkah laku.
3.    Nilai agama / religius yaitu nilai yang berkaitan dengan tuntutan beragama.
4.    Nilai ekonomi yaitu nilai yang berkaitan kehidupan perekonomian.


2.3    Kelengkapan Drama
•    Naskah drama : skrip yang dijadikan panduan pemain sebelum pentas.
•    Penulis naskah : orang yang menulis skenario dan dialog dalam bentuk jadi naskah drama
•    Sutradara : orang yang memimpin atau yang mengatur suatu kelompok drama.
•    Pemain : orang yang berperan melakonkan cerita
•    Lighting : pengatur cahaya dalam pementasan
•    Tata busana/make up : bagian kelengkapan drama yang bertugas merias dan memakaian propertis pakaian
•    Tata suara : pengatur suara untuk memunculkan efek tertentu dalam pementasan
•    Tata panggung : kelengkapan drama yang mengatur latar setiap adegan
•    Panggung : tempat bagi pemain untuk melakonkan cerita


BAB II
 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1    Unsur Intrinsik
3.1.1  Tema
Dalam sebuah drama tidak terlepas dari tema. Sebab tema adalah gagasan atau ide cerita. Adapun tema dari drama yang berjudul Sepasang Merpati Tua karya Bakti Soemanto adalah Pencarian Makna Hidup. Karena dalam drama Sepasang Merpai Tua karya Bakti Soemanto diceritakan tentang seorang Kakek yang memprotes kehidupan yang dijalaninya. Dan sang Kakek berusaha mencari makna hidup lewat jabatan-jabatan yang ia impikan bersama sang istri, si nenek.

3.1.2  Tokoh dan Penokohan
Dalam sebuah drama terdapat tokoh. Drama Sepasang Merpati Tua karya Bakti Soemanto memiliki 2 tokoh yaitu :
1.Kakek
2.Nenek
Dalam sebuah darama memiliki seorang tokoh utama.Tokoh utama dalah seoarng tokoh yang berperan sebagai penggerak cerita atau tokoh yang pertama-tama menghadapi masalah dan terlibat kesukaran. Dan yang menjadi tokoh utama dalam drama Sepasang Merpati Tua karya Bakti Soemanto adalah Kakek. Sedangkan yang menjadi tokoh bawahan adalah Nenek. Tokoh yang mendukung atau membantu tokoh utama.


a. Deskripsi Karakter Tokoh
1) Kakek
Kakek adalah seorang yang kritis menghadapi hidup ini dan mementingkan lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa dialog berikut :
Kakek :    Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos manapun di dunia ini. Tapi pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang ada di kolong jembatan, bukan? Ini tidak adil. Maka aku menyatakan diri. Maka aku menyediakan diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong jembatan.
…..
Kakek:    Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu penyebab adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keruk, sampahnya luar biasa banyaknya…
….
Kakek :    Kira berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem, sistem membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi. Orang-orang zaman ini tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua. Berjalan dengan satu displin mati. Dengan teori yang tidak kita pahami sendiri. Keutuhan manusia sudah dikerdilkan. Hubungan seks tinggal bernilai nafsu. Kesenian diukur filsafat seketika, atau kesenian sudah dikonsepkan. Juja hidup kita didoktrinkan. Ini tidak bisa. Akibtnya, kita tenggelam kepada ukuran-ukuran mini. Kita rindu pada Sofokles, Aristoteles, Albert Camus, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Goethe, Shakespeare. Mereka harus ditakdirkan kembali di sini. Citra manusiaan yang terpancar dari karya-karya mereka harus dipancarkan kembali di sini.
2)    Nenek
Nenek adalah seorang yang berselera tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa dialog di bawah ini :
Nenek :    Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja.
Kakek :     Aku kurang senang jadi diplomat.
Nenek :     Tapi kau lebih terkemuka, lebih ternama, lebih terkenal.
Nenek:    Itu lebih terhormat di PBB. Siapa tahu kaku akan dipilh jadi ketua siding, lantas kelak jadi ketua sidang.
Nenek:    Aku tidak rela kau ditempatkan di pos terhina itu.

3.1.3  Alur
         a. Sekuen   
Adapun sekuen dalam drama ini adalah
1.    Nenek duduk menyulam sambil menunggu kedatangan kakek
2.    Kakek datng dengan menggunakan peci
3.    Nenek memprotes penampilan kakek
4.    Kakek mengambil koran lalu membacanya
5.    Nenek menghampiri kakek
6.    Nenek menangis
7.    Kakek memuji keberanian nenek
8.    Nenek menginginkan kakek menjadi diplomat
9.    Kakek tidak menyetujui keinginan nenek
10.    Nenek termenung
11.    Kakek akhirnya menyetujui keinginan nenek untuk menjadi diplomat
12.    Kakek menginginkan dirinya menjadi diplomat kolong jembatan
13.    Nenek tidak menyetujui keinginan kakek
14.    Kakek memberikan pengertian kepada neneek untuk menerima keinginannya
15.    Nenek termenung
16.    Kakek menjelaskan kepada nenek tentang kehidupan yang mereka jalani ternyata tipuan belaka
17.    Nenek bingung terhadap akan perkataan kakek
18.    Kakek terus menjelaskan jalannya kehidupan ini
19.    Kakek rebah
20.    Nenek panik dan menunutun kakek ke sofa
21.    Nenek menangis
22.    Kakek berdiri dan memperhatikan nenek
23.    Nenek menanyai kakek
24.    Kakek terus menjelaskan dan menyuruh nenek menangis
25.    Nenek mendengar suara jam dinding berdentang dua belas kali
26.    Nenek dan kakek termenung
27.    Nenek merasa heran sebab kembali terdengar suara jam berdentang sebanyak dua belas kali
28.    Kakek kembali menjelaskan tentang makna hidup
3.4     Latar
a.     Identifikasi Tempat
    Dalam drama yang berjudul Sepasang Merpati Tua karya Bakti Soemanto ini terjadi di satu tempat yaitu :
1.    Di atas panggung yang menggambarkan ruang tengah sepasang orang tua. Hal ini ditunjukkan oleh prolog yang ada dalam drama, yaitu :

“Panggung menggambarkan sebuahh ruang tengah rumah sepasang orang tua…….”

b.    Identifikasi Waktu
Cerita dalam darama ini terjadi pada :
1.    sore hari. Hal ini dapat dilihat pada kutipan prolog berikut :

…waktu drama ini dimulai, nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-sebentar ia menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya dating. Saat itu hari menjelang malam.

2.    malam hari. Hal ini dapat dilihat pada kutipan dialog berikut :
...
Nenek :    Nanti saja, kalau sudah tak ada banyak orang…(terdengar suara jam dinding dua belas kali).
Nenek :    Sudah larut tengah malam
Kakek :    Ya. Dan sebentar lagi ambang pagi akan datang.


3.4     Amanat
Amanat adalah pesan atau sisipan nasihat yang disampaikan pengarang melalui tokoh dan konflik dalam suatu cerita. Amanat yang dapat diambil dalam drama yang berjudul Sepasang Merpati Tua adalah umur ataupun berapa lama kita menjalani kehidupan ini tak bisa menjamin bahwa kita mengerti akan makna hidup yang kita jalani. Hal ini dapat dilihat pada kutipan dialog di bawah ini :
….
Nenek :    Kau masih hidup….?
Kakek :    Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya mengerti, apa aku hidup atau tidak, kalau aku menghayatihidupku sendiri….
Nenek :    Tetapi kau berbicara, kau bernapas…
Kakgk :    Bukan itu ukuran adanya kehidupan
Nenek :    Jangan bicara yang sukar-sukar, aku tidak mengerti.
Kakek :    Tentu saja, Karen kau belum mengerti hidup.
Nenek :    Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti.
Kakek :    Umurpun bukan ukuran, selama kau menjalani hidup kau mengikuti doktrin-doktrin itu….
Kita juga harus memperhatikan orang-orang di bawah kita karena kita di dunia ini tak hidup sendiri, tapi hidup bermasyarakat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan dialog berikut :
Nenek :    Aku tidak rela kalau kau ditempatkan di pos terhina itu
Kakek :    Kau belum tahu, justru paling mulia di antara pos-pos di manapun juga
Nenek :    Kau sudah tidak waras
Kakek :    Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu perlu dibujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri sendiri. Tidak sekedar dihalau, diusir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa membujuk…

3.5      Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara penagarang menempatkan dirinya dalam suatu karangan ciptaanya. Pada drama ini pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh sampingan atau orang ketiga tunggal karena pengarang menceritakan orang lain atau yang menjadi tokoh adalah orang lain. Bukan “aku” atau “saya”. Hal ini dapat dilihat bahwa tokoh yang dilibatkan pengarang adalah Kakek dan Nenek.

3.2    Unsur Ekstrinsik
3.2.1    Nilai Sosial dan Budaya
Yang menjadi nilai sosial dan budaya dalam drama yang berjudul Sepasang Merpati Tua karya Bakti Soemanto adalah kepedulian sang kakek terhadap kehidupan orang-orang di sekitarnya terutama orang-orang yang hidup di bawah kolong jembatan. Perhatikan dialog berikut :

Nenek :   Au tidak rela kalau kau ditempatkan di pos terhina itu
Kakek :    Kau belum tahu, justru paling mulia di antara pos-pos di manapun juga
Nenek :    Kau sudah tidak waras
Kakek :    Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu perlu dibujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri sendiri. Tidak sekedar dihalau, diusir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa membujuk…

3.2.2    Nilai Moral
Yang menjadi unsur moral dalam drama yang berjudul Sepasang Merpati Tua karya Bakti Soemanto adalah si kakek yang tak goyah terhadap iming-iming kekuasaan yang akan didapatnya nanti. Si Kakek lebih mementingkan manfaat dari apa yang dia kerjakan nantiya.
Kakek :    Bidang persampahan
Nenek :      Apa?
Kakek :    Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selikan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahhnya luar biasa banyaknya…


3.2.3    Nilai Agama
Yang menjadi unsur agama dalam drama ini adalah kemustahilan untuk diajak berdiskusi tentang kehidupan ini. Sebab Tuhan hanya diam saja dan orang mengetahui apa yang mejadi rencana Tuhan setelah terlaksana.
Nenek :        Kurang besar kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saja ? (Kakek memandang Nenek)
Nenek :        Tapi lebih sukar, sebab Tuhan sukar diajak berdebat. Tuhan cuma diam saja. Orang hanya mengerti     apa mau Tuhan kalau sudah terlaksana sedang rencana-rencana selanjutnya. Masih gelap bukan? Bagaimana kau mengajukan argumentasi-argumentasimu jika mau ajak Tuhan berdiskusi? (Kakek geleng kepala)

3.2.4    Unsur ekonomi
Yang menjadi unsur ekonomi dalam drama ini adalah banyaknya rakyat yang kehidupannya masih jauh dari kategori berkecukupan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang masih tinggal di bawah kolong jembatan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan dialog berikut :

Kakek :    Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu perlu dibujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri sendiri. Tidak sekedar dihalau, diusir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa membujuk…









GERIMIS RUMAH KABUT DAN AKU DI DALAMNYA

BAB I
PENDAHULUAN

      Dewasa ini banyak lahir penulis-penulis yang karyanya begitu memukau para penikmat sastra. Ditambah dengan gaya penulisan yang digunakan dan ditambah anehnya pemaknaan puisi, membuat tulisan semacam puisi menjadi tambah beragam.
Puisi yang dilahirkan oleh pengarang dapat diyakini merupakan tuangan dari apa yang pernah berkenaan pada diri-diri mereka baik itu sebuah pengalaman yang pernah dialami sendiri atau pengalaman orang lain baik secara langsung maupun unsure ketidaksengajaan. Dengan mudah seorang penyair menuangkan dalam bentuk puisi dengan dipilihkannya kata yang betul-betul ia rasa dapat mewakili makna atau maksud dari perasaan mereka.
      Ada beberapa penyair yang saya kenal, namun pada kesempatan ini saya akan mencoba menafsirkan makna-makna yang terkandung dalam sebuah puisi yang berjudul “Gerimis Rumah Kabut dan Aku di Dalamnya” yang ditulis oleh penyair muda Indonesia yaitu Bode Riswandi. Puisi ini sangat padat makna, butuh berkali-kali dan penuh penghayatan untuk menemukan makna. Dan saya akan berusaha memperoleh makna tersebut, meskipun berbeda dengan makna sebenarnya dari penulis. Hal seperti itu bukanlah sebuah masalah dalam penafsiran puisi. Karena setelah karya itu ditangan pembaca, maka pembacalah yang berhak memaknai penulisan puisi tersebut.
      Karya-karya Bode Riswandi memiliki nilai-nilai agamis cukip tinggi sehingga memiliki daya tarik tersendiri untuk menghayatinya. Puisi ini tersurat dalam kumpulan puisi “Mendaki Kantung Matamu”, Bode Riswandi.


BAB II
PEMBAHASAN

      Kepenyairan Bode Riswandi yang sangat menarik dan membuat saya ingin terus berlatih untuk memahami setiap makna yang ada pada puisi-puisinya.
Pada puisi yang berjudul “Gerimis Rumah Kabut dan Aku di Dalamnya” saya sangat yakin bahwa maknanya sangat ditutupi istilah-istilah dengan dengan rapi oleh penulisnya. Secara pribadi penafsiran yang saya lakukan terlebih dahulu terhadap judul. Judul yang diangkat oleh Bode Riswandi berupa kata ‘Gerimis’ yang saya tafsirkan sebagai awal turunnya hujan yang kita ketahui berupa turunnya air dari langit berupa titik-titik air yang berukuran kecil dimana mampu membuat segar dan sejuk segala yang ada dibumi. Dan kata ‘Rumah Kabut’, dimana kata rumah sedikit jelas maknanya sedangkan kabut menandakan sebuah kekelaman, ketidaknyataan atau kesuraman. Ada seorang ‘Aku’ ‘di Dalamnya’ berarti terdapat seseorang didalam rumah yang diturunkan anugrah berupa kesegaran dan kesejukkan namun semua itu tidak nyata dan kelam.
      Puisi ini terdiri dari tiga stanza dimana masing-masing stanza terdiri atas tiga larik yang begitu padat makna. Pada bait pertama larik pertama, “Gerimis Melahirkan Cuaca di Rumahku”. Di mana sepengetahuan saya gerimis juga termasukdalam jenis cuaca penghujan atau kondisi yang mungkin menghadirkan sesuatu yang sangat berguna bahkan mungkin sangat buruk . Di rumahku kata ku di sini  adalah seorang yang memiliki rumah dan ia ada di dalamnya. Selanjutnya di larik kedua yang berisi “jalan-jalan hening dalam pelataran batin”  kata jalan-jalan yang saya tafsirkan suatu tempat yang dilalui banyak orang yang diinjak-injak yang selalu ramai tetapi dalam puisi ini jalannya hening dan ada dalam pelataran atau di dalam perasaannya, dan “mengusir nyanyian sungaiku” mungkin di sini mengikuti nyanyian yang merupakan sebuah hiburan untuk seseorang. Sungaiku, mungkin ini penyair bermaksud yang mengalir. Jadi intinya makna pada larik di bait tidak ada kepastian dan keramaian atau kebahagiaan hati seseorang yang hening dan tenang seperti hiburan yang biasa hadir terus-menerus seperti mengalirnya air di anak-anak sungai.
      “Adalah gelisah yang meredam renungan saga”. Penyair menggambarkan adanya kekhawatiran atau ketidaktenangan yang dialami seorang yang meredam. Saya menafsirkan ada sesosok orang yang merasakan kegelisahan ini yang mengurangi atau sekaligus menghentikan khayalan atau lamunan tentang hal-hal yang pernah dialami oleh penulis. Renungan mungkin pemikiran yang berpusat atau atau sangat khusuk akan suatu hal dihentikan akan suatu kekhawatiran. Selanjutnya pada larik yang kedua di bait kedua yaitu “di antara ziarah kecil dan kumpulan jelaga”. Begitu tinggi imaji-imaji seorang Bode sehingga sangat jauh makna dari kata-kata yang ia pilah sebagai perwakilan ungkapan perasaannya. Dan pada larik kedua ini penyair menggambarkan keberadaan di antara atau di tengah-tengah sesuatu yaitu ziarah kecil yang mungkin mengandung makna kunjungan kecil di tempat keramat dimana tempat terakhir umat manusia pada saat di bumi, “dan kumpulan telaga” di sini saya menafsirkan bersatunya atau tersusunnya dari beberapa partikel yang sangat kecil yang dihasilkan oleh pembakaran yang hitam, yang kotor, yang melambangkan kekelaman, ketidakbaikan. Di sini antara larik satu dan dua berhubungan sangat erat, dimana terhentinya pemikiran yang sangat terpusat oleh ketidaktenangannya di tengah-tengah sesuatu yang keramat atau mengerikan dengan kekelaman. Selanjutnya pada larik ketiga yaitu “kabut ngalir menuju sesuatu yang senja”. Di sini ditegaskan kekelaman berjalan dengan lancar tanpa hambatan menuju kea rah sesuatu yang kelam.

“Maka aku sembunyi di kaki langit yang gusar
dipalu sebaris doa di jalan-jalan besar
kemudian hilang jadi baying-bayang…”

      Pada bait yang ketiga ini penyair mencitrakan saking terpuruknya dan menginginkan suatu kebangkitan untuk ketegaran serta kembalinya ketegaran yang pernah ia miliki, dengan cara ia sembunyi di kaki langit yang gusar. Makna dari “kaki langit yang gusar” yaitu tempat yang penuh kesejukan, jauh dari keramaian untuk mendapat ketenangan lahir batin. Meskipun tempatnya penuh kesejukan, ada sedikit unsur kesembronoan namun terpatahkan karena niat yang besar dan ditegaskan pada larik berikutnya,”dipalu sebaris doa di jalan-jalan besar”. Dalam penafsiran saya bahwa doa merupakan salah satu caranya untuk memperoleh ketenangan dan kembalinya sesuatu yang membahagiakan ini tercermin pada kata “jalan-jalan yang besar” yang bisa jadi mengacu pada sebuah tempat yang selalu ramai, tempat orang berlalu lalang. Selanjutnya pada larik terakhir,”kemudian hilang jadi baying-bayang”. Dan di sinilah harapan terakhir penyair suratkan bahwa segala kekelaman, kengerian yang merasuk di benaknya dengan berserah diri kepada Tuhan dan mengungkapkan doa-doa sebagai ucapan permohonan menjadikan segalanya hanyalah hal yang tidak nyata.


Kamis, 24 Mei 2012

Analisis Cerpen "Robohnya Surau Kami"

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari cerpen bukanlah suatu karya sastra yang tidak dikenal. Secara tidak disadari sebuah cerpen merupakan penyaluran ide atau pikiran pengarang melalui sebuah karya yang disebut cerpen tersebut. Dalam penulisannya cerpen tentu berbeda dengan karangan ilmiah. Menulis cerpen tidak hanya menuagkan gagasan atau merangkai cerita saja, tetapi juga herus menciptakan kalimat-kalimat yang digunakan harus memiliki jiwa yang membuat pembaca seolah-olah mengalami sendiri peristiwa atau konflik yang ada dalam cerita. Bahan  cerita untuk menulis cerpen dapat kita dapatkan  dari pengalaman pribadi atau peristiwa yang terjadi di sekitar kita.
Cerpen atau cerita pendek adalah karya fiksi berbentuk prosa yang isinya merupakan kisahan pendek dan mengandung kesan tunggal. Masalah kehidupan  yang disuguhkan pengarang dalam cerpennya tentu saja merupakan refleksi realitas (penafsiran mengenai kehidupan manusia atau merupakan suatu bentuk penyaluran ide pengarang untuk menyindir suatu realita yang ada dalam masyarakat). Melalui cerpen yang dikarangnya, pengarang juga dapat mengembangkan ide-ide baru yang terlintas dalam pikiran pengarang sehingga dapat diperhatikan oleh pembaca dan dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan.
Pendekatan ekspresif adalah suatu pendekatan di mana pengarang dianggap sebagai Tuhan atau sebagai manusia suci / sublim. Dalam pendekatan ini, karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang dan lahan garapan penelaahnya adalah aspek-aspek
kejiwaan,pemikiran,ide-ide emosi, pandangan hidup dan sebagainya dari pengarang karena karya sastra merupakan pengekspresian jiwa, pengalaman dunia batin pengarang.

B.    Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam makalah ini adalah menganalisis cerpen ”Robohnya Surau Kami” dengan menggunakan ”Pendekatan Ekspresif”.

C.    Tujuan
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
•    Menganalisis teks sastra untuk melihat keasliannya, baik dari segi ide maupun dari unsur-unsur yang membangunnya.
•    Menelusuri setiap yang ada di dalam teks untuk mencari aspek yang sama di luar teks.
•    Memberikan uraian tentang bagian-bagian teks yang asli dan yang mana yang hasil tiruan.



BAB II
KAJIAN TEORITIK

Pendekatan ekspresif memandang karya sastra sebagai ekspresi, luapan, ucapan perasaan, sebagai hasil imajinasi pengarang, pikiran-pikiran dan perasaannya. Pendekatan ini cenderung menimbang karya sastra dengan keasliannya, kesejatianya, atau kecocokannya dengan visi atau keadaan pikiran dan kejiwaan pengarang.
Telaah ini didasarkan pada teori ekspresif yang memandang suatu karya seni yang secara esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang terungkap sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni), perwujudanya melalui proses kreatif, dengan titik tolak dorongan perasaan pengarang, dan hasilnya adalah kombinasi antara persepsi, pikiran dan perasaan pengarangnya.
Sumber utama dan pokok masalah suatu novel, misalnya, adalah sifat-sifat dan tindakan-tindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya.
Di sisi lain Rohrberger dan woods (1971:8) memandang pendekatan ekspresif ini sebagai pendekatan biografis. Pendekatan biografis menyaran pada perlunya suatu apresiasi terhadap gagasan-gagasan dan kepribadian pengaranguntuk memahami obyek literer. Atas dasar pendekatan ini, karya seni dipandang sebagai refleksi kepribadian pengarang, yangn atas dasar pengalaman estetis pembaca dapat menangkap kesadaran pengarangnya, dan yang setidak-tidaknya sebagian respon pembaca mengarah kepada kepribadian pengarangnya. Untuk itu, dengan pendekatan ekspresif penelaah hendaknya mempelajari pengetahuan tentang pribadi pengarang guna memahami karya seninya.
Telaah dengan pendekatan ekspresif dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi, spontanitasnya dan sebagainya.


BAB III
PEMBAHASAN


A. Cerpen Robohnya Surau Kami

B.    Analisis Cerpen ”Robohnya Surau Kami” dengan ”Pendekatan Ekspresif”

Judul Cerpen    : Robohnya Surau Kami
Pengarang   : A.A. Navis
Tema    : Religius

Haji Ali Akbar Navis yang lebih dikenal dengan A.A. navis, lahir di kampung Jawa, Padang, Sumatera Barat, 17 November 1924. Beliau adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia, yang di kalangan sastrawan digelari sebagai ” Kepala Pencemooh”, karena beliau adalah salah seorang tokoh yang ceplas ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerokgoti para koruptor. Maka pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dia dikasi memilih ia akan pilih menjadi penguasa untuk menangkap para koroptor. Walaupun oia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan,ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Sepanjang hidupnya ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia banyak menulis berbagai hal, walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya.
Penulis ” Robohnya Surau Kami ” dan menguasai berbagai kesenian seperti seni rupa dan musik, ini meninggal dunia dalam usia hampir 79 tahun, sekitar pukul 05.00, Sabtu, 22 Maret 2003, di rumah sakit Yos Sudarso, Padang.
Cerpen ”Robohnya Surau Kami” terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.
Dalam Karya ”Robohnya Surau Kami” pengarang juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik tapi tata nilai. Pada kenyataannya, judul kisah ini hanya bersifat simbolis, karen amemang tidak ada surau yang dikisahkan roboh, tetapi roboh di sini adalah nilai-nilai agama yang disalah artikan oleh beberapa orang, terutama di Indonesia.
Cerpen ini mengisahkan bahwa adanya sekelompok orang yang menghadap Tuhan dan ingin mengajukan protes kepada Tuhan karena telah memasukkan mereka ke dalam neraka, padahal selama di dunia mereka selalu taat beribadah kepada Yang Maha Kuasa. Setelah mereka melakukan protes, teenyata Tuhan tetap memasukkan mereka ke dalam neraka. Dalam kutipan ini pengarang menggambarkan bahwa latar belakang suasana yang sedang berlangsung, kemudian menunjukkan bahwa mereka berjumpa dengan Tuhan bahkan mereka berdialog dengan Tuhan, sementara berbicara dengan Tuhan itu adalah suatu hal yang sangat luar bisa dan tidak biasanya ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun semmua ini dilatar belakangi oleh kehidupan akhirat pada saat manusia akan menghadap Tuhan dan menerima keputusanNya, berdasarkan apa yang diperbuat selama di dunia. Walaupun sang pengarang belum prnah berada dalam situasi yang sama.
Dalam kisah ini pengarang menyampaikan pesan dan moral melalui dialog antara Tuhan dan manusia, seperti halnya Tuhan bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan di dunia, kemudian Tuhan menjatuhkan keputusanNya untuk memasukkan mereka ke dalam neraka. Tentu hal itu mempunyai alasan, mengapa sampai dimasukkan ke neraka,dan alasan-alasan itu tersirat dalam dialog yang mereka lakukan.
Selanjutnya, dari segi pemilihan nama pemimpim kelompok yang melakukan protes kepada Tuhan, menurut saya pengarang menunjukkan bahwa nama yang agamis sekalipun seperti Haji Saleh tidak mejamin akan kebaikan akhlak yang akhirnya dapat mengantarkan dia ke dalam surga. Karena kata Haji berarti orang yabg sudah pernah melakukan ibadah ke Mekkah, sedangkan  Saleh berarti seseorang yang taat dan patuh beribadah serta beriman dan bertakwa kepadaNya. Sehingga betapa ironisnya jika seorang Haji Saleh dimasukkan ke dalam neraka.
Kemudian Tuhan pun menanyakan keberadaan atau asal mereka, dan keadaan penduduk serta hasil atau kekayaan alam asal mereka yakni Indonesia. Di sini pengarang menggambarkan bahwa ketaatan beribadah yang dilakukan oleh Haji Saleh dari kelompoknya sudah mengesampingkan urusan duniawi seperti halnya terlihat pada dialog antara mereka yang menyatakan bahwa walaupun negerinya sudah melarat dan hasil kekayaan alamnya telah dikeruk oleh negara lain, maka mereka tidak peduli, yang penting mereka terus beribadah kepada Tuhan.
Dalam kisah ini, melalui perkataan Tuhan yang terakhir bahwa mereka diputuskan untuk masuk neraka karena Tuhan menjelaskan ”jika memang benar mereka telah membaca kitab suciNya, maka tentulah mereka tidak hanya akan beribadah tapi juga beramal, bekerja sehingga nasib mereka bisa membaik. Maka di sini sang pengarang mencoba menyindir presepsi bahwa agama itu hanya tentang menyembah dan memuji Tuhan saja. Padahal ada keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan rohani yang harus di jaga.
Di akhir cerita, dikisahkan bahwa Tuhanpun akhirnya menjelaskan mengapa dia memutuskan untuk melemparkan mereka ke dalam neraka. Tuhan mengatakan bahwa mereka lebih suka beribadat saja karena beribadah tidak mengeluarkan pelkuh dan tidak perlu membanting tulang. Tuhan juga mengatakan bahwa mereka hanya bisa membaca kitabNya tanpa menjelaskan isinya. Melalui kutipan ini, pengarang meminjam kacamata Tuhan untuk untuk menyampaikan idenya.
Dalam cerita ini, pengarang menyampaikan beberapa pesan dan moral sebagai berikut. :
•    Amal ibadah kita harus berdasar pada keinginan untuk menjalankan agama Tuhan bukan hanya untuk menghindari kehidupan dunia yang jauh lebih  melelahkan
•    Jika kita telah mengaku menjadi hambaNya, tentu kita tidak akan saling menipu dan saling memeras
•    Pembacaan kitab suci tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada aplikasi lebih lanjut dalam kehidupan sehari-hari.
•    Tuhan telah menciptakan manusia bukan untuk menyembahNya sajakarena seperti yang Tuhan katakan. Dia tidak mabuk pujian dan sembahandari manusia. Dia memang seharusnya Yang Maha Agung walaupun tak ada yang menyembahnya. Oleh karena itu,manusialah yang seharusnya sensitif ke keadaan sekitarnya dan berusaha untuk menjadi lebih efektif dalam merubah keadaan dirinya.
•    Dari teknik penceritaan pengarang,tidak biasanya terjadi pada kehidupan sehari-hari karena A.A. Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain dengan menampilkantokoh Tuhan, bahklan dalam peristiws ini terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Tuhan Yang maha Tinggi, Maha Pencipta, sehingga teknik penceritaannya terkesan unik. Dan cerpen ini lahir dalam atmosfer so – an yang kembali lagi memunculkan karakter Tuhan, di mana hal semacam ini pernah tercantum pada cerpen sebelum ” Robohnya Surau Kami ” karya A.A. Navis yaitu cerpen ” Langit Semakin Mendung ” karya Kipanjikorsim.

BAB IV
PENUTUP

A.  Simpulan
Adapun simpulan dari hasil analisis cerpen ” Robohnya Surau Kami ” dengan ” Pendekatan Ekspresif ” adalah sebagai berikut :
•    Cerpen ” Robohnya Surau Kami ” merupakan teks sastra yang baik atau orisinal karena ide-ide yang ada dalam cerpen merupakan ide murni dari pengarang karena  pengarana sebenarnya bermaksud untuk mengkritik robohnya nilai-nilai agama yang sudah disalah artikan oleh beberapa orang terutama di Indonesia.
•    Cara pengarang menyampaikan jalannya cerita pada cerpen ” Robohnya Surau Kami ” sebenarnya telah terjadi pada cerpen sebelumnya yang kembali lagi memunculkan karakter Tuhan., yaitu cerpen ” Langit Semakin Mendung ” karya Kipanjikorsim.
B.    Saran
•    Sebaiknya perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam lagi terhadap cerpen ”Robohnya Surau Kami” agar dapat dijadikan rujukan dalam pengajaran sastra.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. 1993. Deru Campur Debu. Jakarta : Dian Rakyat.
Pradoko, Djoko Rahmat. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gajah Mada University Pres
Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makassar : Universitas Negeri Makassar.

KETIKA CITRA PERGERAKAN MAHASISWA BURUK DI MATA MASYARAKAT

     Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi, yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Berbicara tentang gerakan mahasiswa, berarti kita harus membicarakan konteks historis yang cukup panjang. Dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru : Gerakan Mahasiswa 1998 (1999), Soewarsono mengajukan sebuah pernyataan krusial. Baginya, gerakan mahasiswa adalah sebuah keluarga. Ikatan ini terjalin dari serangkaian tonggak-tonggak yang disebut sebagai angkatan. Tak heran jika kita cukup familiar dengan angkatan 1908, 1928, 1966, 1974, 1990 serta yang paling fenomenal, angkatan 1998. Karena menjadi sebuah keluarga, tentu saja angkatan-angkatan tersebut tidak berdiri sendiri. Sebagai contoh, membaca hasil yang diperoleh angkatan 1998 - menumbangkan rezim Orde Baru - tentu tidak dapat dilepaskan dari serangkaian proses yang juga dilakukan angkatan sebelumnya. Dari semua angkatan yang ditonggakkan tersebut, ada satu hal krusial yang patut menjadi perhatian bersama. Gerakan mahasiswa mendapatkan dukungan yang besar dari rakyat.
      Dengan demikian, gerakan mahasiswa merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Di sinilah letak pentingnya sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.
      Mahasiswa sebagai kelas menengah memperjuangkan rakyat yang ditindas oleh rezim otoritarian. Sementara rakyat turut membantu perjuangan yang dilakukan mahasiswa. Dari mulai aksi yang halus sampai yang paling anarkis pun mendapat dukungan dari masyarakat. Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa mahasiswa mampu merumuskan isu-isu yang bersifat kerakyatan yang membela masyarakat banyak. Inilah masa bulan madu antara rakyat dan mahasiswa. Namun, bulan madu itu barangkali harus segera di akhiri. Pasca reformasi 1998, gerakan mahasiswa mengalami disorientasi. Berbagai hal yang dulu pernah diperjuangkan justru menyerang balik mereka. Wacana kebebasan pers, demokratisasi, Hak Asasi Manusia, sampai kebebasan berpendapat justru membuat posisi mahasiswa terdesak.
    Pergerakan mahasiswa kini sudah tidak ilmiah dan jauh dari koridor  akademik. Mari kita lihat kenyataan yang ada. Mahasiswa pada zaman orde lama dan orde baru sangatlah berbeda dengan mahasiswa yang muncul pada masa kini. Betapa tidak? Pada zaman orde lama dan orde baru, mahasiswa begitu penting dan sangat diperhitungkan. Karena pergerakan mahaiswa dianggap sebagai proses perluasan kehidupan mahasiswa dalam masyarakat. Turunnya presiden Soekarno dan Soeharto sebagi presiden karena pergerakan mahasiswa yang begitu gigih. Mahasiswa menganggap tidak pantaslah di negara Indonesia ada pemerintahan seumur hidup. Hal inilah yang mendorong mahasiswa untuk bergerak dan bersatu menurunkan presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Sejak inilah keberhasilan gerakan mahasiswa menimbulkan respon positif dari pihak rakyat atau masyarakat. Mahasiswa dianggap sebagai penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan social-politik di tanah air.
      Peristiwa ini telah tercatat dalam sejarah dan memori rakyat. Namun,tidak bertahan sampai saat ini, karena kondisi pergerakan mahasiswa dulu sangatlah berbeda atau bertolak belakang dengan kondisi pergerakan mahasiswa saat ini. Pergerakan mahasiswa saat ini telah menunjukkan pengingkaran terhadap sejarah yang telah menjadi kenangan dalam masyarakat Indonesia. Lihat saja! Gerakan mahasiswa yang turun ke jalan untuk melakukan aksi yang dalam bahasa mereka adalah menyuarakan aspirasi rakyat, membela kebenaran dan keadilan terhadap kebijakan pemerintah yang kurang representative, maupun  kebijakan kampus yang kurang populis bagi mahasiswa. Tapi, toh masihkah aksi mereka berpegang pada aspirasi rakyat? Sebagian besar akan mengatakan lebih banyak sisi negatifnya. Setiap kali mahasiswa turun untuk melakukan demonstrasi, justru yang ada di hati masyarakat adalah keresahan bukan kesenangan atau kebahagiaan. Mengapa? Aksi mahasiswa saat ini, bagi mereka menimbulkan berbagai dampak negatif. Mulai dari pembakaran ban bekas di tengah jalan yang dapat menyebabkan penyakit bagi mereka yang mengirup asap dan memabwa bibit penyakit terhadap ternak. Selain itu, demonstarsi yang dilakukan oleh mahasiswa sering membuat macet jalanan umum. Tetapi yang paling berakibat fatal dan lebih meresahkan masyarakat adalah aksi demonstrasi mereka berujung anarkis. Jika demikian ini, maka akan timbul kata-kata bahwa mahasiswa  tidak ada  bedanya dengan preman pasar yang selalu menyengsarakan masyarakat.              
      Sungguh menyedihkan, karena seharusnya mahasiswa adalah panutan yang dapat menyatu dengan rakyat dalam kebenaran, yang selalu peduli dengan rakyat. Tetapi kini terbalik, justru masyarakatlah yang peduli dengan mahasiswa. Namun, kepedulian mereka lebih pada kata prihatin dengan keadaan “bobrok” mahasiswa yang dianggap sudah tidak memegang ideology sebagai mahasiswa.
      Dalam kenyataannya, mahasiswa sebenarnya sekelompok masa yang begitu peka dan peduli dengan keadan sosial. Hal ini terbukti ketika adanya bencana alam yang menimpa salah satu daerah di negeri kita. Para mahasiswa tidak hanya diam. Mereka justru orang pertama yang merasa perlu memberikan sedikit sumbangsi berupa tenaga, bantuan material ataupun bantuan-bantuan lain yang sifatnya dapat mendukung bangkitnya kembali semangat para korban bencana, ataupun membangun kembali mental para korban yang telah terpuruk oleh kondisi dan keadaan. Saat terjadi bencana seperti itu, tidak jarang para mahasiswa yang berkunjung ke lokasi kejadian untuk langsung menyaksikan keadaan sekaligus memberikan sumbangan seadanya kepada para korban. Sumbangan ini, dikumpukan dari hasil kerja keras mereka sendiri. Di bawah panas terik matahari mereka berada di lampu merah untuk menyodorkan kardus-kardus dengan tujuan meminta uluran tangan pada para pengguna jalan berapapun nilainya.
      Selain itu, ada pula dari sebagian mahasiswa yang melakukan penyelamatan langsung dan membantu pemulihan trauma terhadap anak-anak yang tekena musibah, dan dapat pula mengumpulkan pakaian bekas yang masih layak pakai. Para mahasiswa memang sangat terketuk hatinya dalam urusan sosial seperti ini. Tetapi, kepekaan sosial tersebut, tidak banyak menggeser pandangan negatif masyarakat terhadap mereka. Masyarakat terlanjur diracuni oleh pemandangan tidak baik oleh aksi mereka sendiri. Sehingga sulit untuk memulihkan atau mengembalikan citra mahasiswa yang baik di mata masyarakat. Artinya citra buruk pergerakan mahasiswa telah diciptakan oleh mahasiswa itu sendiri.
      Walaupun demikian, masyarakat tidak dapat disalahkan dengan pandangan buruk mereka terhadap pergerakan mahasiswa. Karena memang banyak peristiwa yang memilukan hati akibat dari aksi pergerakan mahasiswa, seperti demonstrasi yang sering dilakukan dengan mengatasnamakan rakyat. Tetapi, justru jauh melenceng dari apa yang diharapkan oleh masyarakat untuk menyuarakan hak mereka. Tidak jarang ditemukan gerakan-gerakan mahasiswa yang “diboncengi” oleh suatu oknum di belakangnya. Sampai para pelakunya mendapatkan imbalan yang bervariasi berupa nasi bungkus, uang saku atau bahkan benda-benda elektronik seperti handphone atau motor. 
Imbas dari pergerakan semacam itu menyebabkan lunturnya animo masyarakat terhadap pergerakan mahasiswa yang bersifat murni untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan bersifat ideologis.   
      Setiap demonstrasi yang dilaksanakan oleh lembaga mahasiswa yang masih berpegang teguh kepada idealisme selalu tidak mendapatkan dukungan bahkan hanya mendapat ejekan atau cemoohan dari berbagai pihak. Siapa yang harus disalahkan? Bagaimana mahasiswa yang masih ideal menegakkan kebenaran sedangkan sebagian temannya meruntuhkan kebenaran dan idealime itu sendiri. Mereka bagaikan menggunting dalam lipatan. Memang, menyatukan persepsi mahasiswa tentang memobilisasi suatu pergerakan merupakan hal yang sangat sulit. Harus ada isu-isu yang bersifat nasional dan merupakan kepentingan bersama tanpa menguntungkan siapapun baik secara materiil maupun politis.
      Gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa sudah tidak bersikap bijak dan seolah-olah menonjolkan sikap egoisme dan organisasi. Dapat kita lihat disetiap aksi yang dilakuka mereka selalu mengutamakan bendera-bendera organisasi. Seperti yang terjadi pada tanggal 1 November 2007 di Banjarmasin, aksi besar-besar mahasiswa sangat disayangkan. Kerna dalam aksi mereka, sidah tidak mempedulikan ideologi, tidak mementingkan kebijakan. Tetapi, justru menonjolkan egoisme untuk setiap organisasi yang menaungi mereka. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya mahasiswa tidak terlihat lagi karena telah ditutupi oleh bendera yang mereka bawa. Sehingga tampak jelas bahwa mereka jalan dengan menonjolkan organisasi yang mereka masuki.
Saat ini, Sikap ilmiah juga semakin berkurang dalam jiwa para mahasiswa. Forum-forum diskusi dan seminar-seminar terlihat sepi peserta, tulisan-tulisan ilmiah pun sudah jadi barang langka, buku-buku kehilangan pembacanya, perpustakaan juga tidak lagi jadi tempat baca buku, tapi jadi tempat nongkrong dan kenalan, atau bahkan tidak dikunjungi sama sekali! Justru acara-acara seperti festival Band, pentas seni, atau demonstrasi, malah laris manis.
       Sebenarnya pandangan masyarakat dapat berubah, jika pergerakan mahasiswa kembali ditata dengan baik. Mulai memperhatikan etika-etika pergerakan dan demonstrasi agar tidak meresahkan masyarakat. Pergerakan mahasiswa harus mampu menunjukkan bahwa mahasiswa merupakan generasi penting dalam suatu negara. Karena Kalau pemudanya kuat maka negara akan kuat juga. Bisa dibayangkan apabila calon “pencerahnya” tidak beretika, maka bagaimana generasi dibawahnya ? Pasti akan lebih buruk dan kemungkinan bangsa ini akan berubah dari bangsa yang mempunyai budaya ramah, toleransi, menghargai orang lain menjadi bangsa yang kasar bahkan hanya budaya latah.
      Sudah saatnya pergerakan mahasiswa ditimbang-timbang kembali kepada jati diri mahasiwanya. Yang sangat diperlukan adalah kembali membaca buku, menulis karya-karya ilmiah, berdiskusi, menemukan pengetahuan baru, mengisi diri dan jiwa dengan tradisi ilmiah. Agar jika suatu saat nanti kembali ke masyarakat, maka tidak membuat diri sendiri malu dihadapan orang banyak. Sehingga pandangan masyarakat terhadap mahasiswa tidak buruk lagi. Apa jadinya jika mahasiswa sudah tak lagi dipercaya sebagai tingkatan masyarakat yang tinggi derajatnya? Apalagi sampai terlibat skandal negatif seperti demonstrasi yang selalu saja meresahkan kehidupan masyarakat. Sebagai mahasiswa yang memiliki ideology, maka harus mencoba merebut kembali citra baik sebuah pergerakan mahasiswa dalam pandangan masyarakat. Sehingga dapat seiring sejalan dan saling bekerja sama antara mesayarakat dan mahasiswa. Mahasiswa memperjuangkan masyarakat dan masyarakat turut membantu perjuangan yang dilakukan mahasiswa.