http://arti.master.irhamna.googlepages.com/bintang.js' type='text/javascript' galaxy: ANALISIS NOVEL "KARENA KUTAHU ENGKAU BEGITU"
BACA DAN TEMUKAN HAL-HAL MENARIK

Laman

SELAMAT MEMBACA DAN TEMUKAN HAL-HAL MENARIK

Kamis, 31 Mei 2012

ANALISIS NOVEL "KARENA KUTAHU ENGKAU BEGITU" k

BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1 Tokoh
    Dalam cerita fiksi perwatakan erat kaitannya dengan alur, sebab alur yang meyakinkan terletak pada gambaran watak-watak yang mengambil bagian di dalamnya, di samping perwatakan dicipta sesuai dengan alur tersebut. Peristiwa0peristiwa cerita yang didukung oleh pelukisan watak-eatak tokoh dalam suatu rangkaian alur itu menceritakan manusia dengan bebagai persoalan, tantangan, dalam kehidupannya. Cerita ini dapat ditelusuri dan diikuti perkembangannya lewat perwatakan tokoh cerita atau penokohan cerita. “penokohan” di sini berasal dari kata “tokoh” yang berarti pelaku. Karena yang dilukiskan mengenai watakwatak tokoh atau pelakucerita, maka disebut perwatakan atau penokohan.
Dengan demikian perwatakan atau penokohan adalah pelukisan tokoh/pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita. Moh. Thani Ahmad (dalam Dewan Bahasa 1974 : 509) menyebutkan bahwa sifat menyeluruh dari manusia yang disorot, termasuk perasaan, keindahan, cara berpikir, cara bertindak, dan sebagainya.
Pengertian tokoh di atas menurut Panui Sudjiman adalah individu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami peristiwa atau lakuan dalam cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam cerita fiksi dapat berkembang perwatakannya baik segi fisik maupun mentalnya. Forster membagi perwatakan tokoh atas watak bulat (round character) dan watak datar (flat character).
Dalam cerita fiksi watak datar (disebut”watak latar” atau “watak pipih” menurut istilah Malaysia) mencerminkan okoh yang wataknya sederhana, yang dilukiskan satu segi wataknya saja, dan watak ini tidak/kurang berkembang. Dalam watak datar ini menurut Panutis adalah tokoh strectip, selalu ibu tiri yang selalu dilukiskan berperangai kejam. Tokoh datar banyak digunakan dalam cerita-cerita wayang dan cerita0cerita didaktis yang pada mumnya tidak memerlukan perkembangan watak tokoh. Selanjutnya jika lebih dari satu cirri/segi watak yang ditampilkan di dalam cerita, sehingga tokoh itu dapat dibedakan dari tokoh-tokoh yang lain, maka ia disebut memiliki watak bulat (round character) yang kompleks perwatakannya, Nampak segala seginya, kekuatan maupun kelemahannya, dan tidak menimbulkan kesan “hitam-putih”, serta terus berkembang hamper sepanjang cerita.
Menurut Mido (Eri, 2005 : 36) tokoh dalam cerita mungkin saja hanya satu orang atau lebih dari satu orang. Kalau lebih dari satu orang maka ditinjau dari segi perannya. Tokoh adalah pemeran dalam suatu cerita, karena tanpa tokoh sebuah cerita tidak akan ada. Dan tokoh sering juga disebut penggambaran watak dan kepribadian secara tidak langsung.
Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987 : 79)menegaskan, “para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama, sedangkan tokoh yang memiliki peranan yang tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu”.
Tokoh masing-masing memiliki peran dan fungsi tersendiri, ada yang sering muncul atau sering diceritakan (sentral) dan bahkan hanya sebagai peran tambahan. Dalam hal ini Sumardjo (1988) mengungkapkan bahwa tokoh berdasarkan fungsinya memiliki peran sebagai berikut :                                                                     
1.    TokohSentral                                                                                                                                            Tokoh Sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibagi menjadi dua, yaitu :                                                                                                                              
a.    Tokoh sentral protagonis
Tokoh sentral protagonist adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.                                                                                                                              
b.     Tokoh sentral antagonis 
Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
2.    Tokoh Bawahan   
          Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu :
                                                                                                                
a.    Tokoh andalan  
Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).
b.    Tokoh tambahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c.    Tokoh lataran 
Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.                                           
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku atau pemeran dari dalam cerita yang menitikberatkan kepada kegiatannya sehari-hari dalam kehidupan suatu karya sastra. Peran dan fungsi tokoh masing-masing memiliki keragaman, karena peran seorang tokoh dalam sebuah cerita mewakili karakter dari karya itu masing-masing berbeda, maka dari itulah seorang tokoh memiliki keragaman ada sebagai tokoh sentral protagonis yang selalu berbuat baik (positif) dan tokoh sentral antagonis yang bertentangan dengan protagonis (negatif) dan adapula tokoh bawahan yaitu tokoh pemeran pembantu tokoh utama dalam sebuah cerita.
Kemudian penokohan, penokohan merupakan keseluruhan gerak laku yang terdorong oleh motivasi-motivasi kejiwaan yang disuguhkan oleh pengarang dalam sebuah karya sastra.
Menurut KBBI (2000 : 1149) bahwa “penokohan adalah sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran, perbuatan, tabiat dan budi pekerti”. Dalam hal ini Tarigan juga berpendapat, (1982 : 141) bahwa perwatakan atau karakterisasi adalah proses yang digunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fisiknya.
Selanjutnya Semi (1990 : 29) menegaskan tentang tokoh cerita sebagai berikut :
“Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi)dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan, perilaku para tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan, dan sebagainya ”.
Ada berbagai upaya yang akan ditempuh pengarang dalam membangun watak pertokohan seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin (1987 : 80-81), yakni:
“Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya dengan cara:                                     
1.    Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya.
2.    Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya
3.    Menunjukan bagaimana perilakunya.
4.     Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tantang dirinya sendiri.
5.    Memahami bagaimana jalan pikirnya. 
6.    Melihat tokoh lain berbicara tentangnya.
7.    Melihat tokoh lain berbincang dengannya.      
8.    Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya.      
9.    Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perwatakan adalah keseluruhan sifat tokoh atau pelaku yang digambarkan oleh pengarang didalam karyanya. Sifat ini merupakan segala tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan dan keadaan fisik tokoh tersebut. Penokohan ini selalu dihubungkan dengan tokoh atau pelaku yang ada dalam sebuah cerita. Setiap peristiwa atau kejadian yang ada didalam sastra berlangsung sedemikian rupa dengan adanya tokoh cerita.

2.2 Alur
    Rentang pikiran atau mungkin juga disebut dengan istilah jalan cerita dan sebagainya. Barangkali alur berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya. Sebab seperti apa yang dikatakan J.S. Badudu dalam bukunya yang berjudul Inilah Bahasa Indonesia Yang Baik. Bahwa bahasa yang tumbuh baik itu dalam karya sastra senantiasa berubah dan perubahan itu meliputi bidang bahasa secara menyeluruh termasuk soal istilah alur (plot).
Semi (1990 : 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interaksi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian bagian seluruh fiksi. Sedangkan yang dikemukakan oleh Rene Wellek dan Austin Warren(1985 : 12) bahwa alur adalah peristiwa-peristiwa yang dirangkai dalam suatu urutan yang logis. Rangkaian peristiwa itu menurut forster, haruslah punya hubungan kausal atau sebab-akibat.
Dari pendapat diatas jelaslah bahwa alur itu sangat penting untuk merangkaikan peistiwa yang akan ditampilkan oleh pengarang dalam suatu cerita yaitu dengan memperhatikan kepentingan dan berkembangnya suatu cerita itu dan menggambarkan bagaimana setiap tindakan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain serta bagaimana seorang tokoh itu terkait dalam kesatuan cerita.
Dalam hal ini Aminuddin berpendapat (1987 : 83) bahwa “alur pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita, dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita”.
Alur juga merupakan suatu rentetan peristiwa yang diurutkan peristiwa yang akan ditampilkan dengan memperlihatkan kepentingan dalam cerita. Alur suatu cerita menggambarkan bagaimana setiap tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lain atau mempunyai proses kausal atau sebab-akibat, dan bagaimana tokoh menyatu dengan cerita.
Juga dalam hal ini, Nurgiyantoro (2005 : 68) berpendapat bahwa “alur merupakan aspek terpenting yang harus dipertimbangkan, karena aspek inilah juga yang pertama-tama menetukan menarik tidaknya suatu cerita dan memiliki kekuatan untuk mengajak pembaca secara total untuk mengikuti cerita.
Adanya alur cerita akan terbentuk suatu tahapan-tahapan yang menjalin suatu cerita melalui para pelaku dalam suatu pengisahan, dan biasanya juga alur adalah elemen penting yang menyelaraskan gagasan tentang siapa, apa, bagaimana, dimana, mengapa, dan kapan. Dengan kata lain alur itu merupakan jalinan asal muasal kejadian dalam perkembangannya sebuah cerita. Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987 : 83) mendefenisikan plot sebagai berikut, plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Kemudian plot merupakan rangkaian kisah tentang peristiwa yang bersebab, dijalin dengan melibatkan konflik atau masalah yang pada akhirnya diberi peleraian.
Selanjutnya Lukens (Nurgiyantoro, 2005:68) mengemukakan bahwa alur merupakan urutan kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh dalam aksinya. Sejalan dengan itu Muchtar Lubis(dalam Eri, 2005 : 29) membagi alur menjadi lima tahapan secara berurutan yaitu :
1. Exposition (pengarang mulai melukiskan keadaan sesuatu)
2. Generating (peristiwa mulai bergerak)
3. Ricing Action (keadaan mulai memuncak)
4. Climax (puncak)
5. Denoument (penyelesaian)
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot merupakan suatu rangkaian peristiwa dengan peristiwa yang lain dengan melibatkan konflik atau masalah serta diberi penyelesaiannya dan peristiwa itu terjadi berdasarkan sebab akibat dan alur akan melibatkan masalah peristiwa dan aksi yang dilakukan dan ditampakan kepada tokoh cerita.
Struktur alur diatas tersebut tentu saja tidak mutlak harus dipatuhi oleh setiap pengarang. Pengarang bebas menyusun alur ceritanya sesuai dengan selera masing-masing. Malahan pengarang-pengarang sastra moderen sekarang lebih suka menggunakan sorot balik (flashback atau backtracking). Jika urutan kronologis peristiwa-peristiwa yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka terjadilah sorot balik (Panuti S. dalam PBI no.2 juni 1987 : 81). Sorot balik ini biasanya ditampilkan dalam dialog, dalam mimpi, atau lamunan tokoh yang menelusuri kembali jalan hidupnya.



2.3 Latar
    Latar merupakan salah satu aspek yang penting, karena setiap gerak laku tokoh-tokoh cerita yang menimbulkan peristiwa-peristiwa dalam cerita berlangsung dalam suatu tempat, ruang, dan waktu tertentu.
Menurut Cleanth Brooks dalam An Aproach Of Literature (1952 :819) latar adadlah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang dalam cerita. Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature, 1956: 221) mengemukakan, latar adalah lingkungan alam sekitar, terutama lingkungan dalam yang dipandang sebagai pengekspresian watak secara metonimik atau metaforik.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa latar adalah situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita. Tercakup didalamnya lingkungan geografis, rumah tangga, pekerjaan, benda-benda dan alat-alat yang berkaitan dengan tmpat terjadinya peritiwa cerita waktu, suasana dan periode sejarah.
Dalam bukunya An Introduction to the Study of Literature (1963) Hudson membagi latar cerita ini atas latar fisik (material) dan latar sosial. Termasuk dalam latar fisik adalah latar yanf berupa benda-benda fisik seperti bangunan rumah, kamar, perabotan, daerah, dan sebagainya. Latar sosial meliputi pelukisan keadaan sosial budaya masyarakat, seperti adat istiadat, cara hidup, bahasa kelompok sosial dan sikap hidupnya, dan lain-lain yang melatari peristiwa cerita.
 Latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Dalam arti yang lebih luas, latar mencakup tempat, waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dlam kegiatan itu. (Tarigan, 1982 : 157)


Menurut Semi (Oktober, 1993 : 5),
“Latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk didalam latar ini adalah tempat atau ruang yang dapat diamati seperti kampus, di sebuah kapal yang berlayar ke hongkong, dijakarta, di sebuah puskesmas, di dalam penjara di paris dan sebagainya. Termasuk di dalam unsure latar atau landas tumpu ini adalah waktu, hari, tahun, musim atau periode sejarah misalnya di zaman perang kemerdekaan, di saat upacara sekaten dan sebagainya. Orang atau kerumunan yang berada di sekitar tokoh juga dapat di masukan ke dalam unsur latar, namun tokoh itu sendiri tidak termasuk latar.

Selanjutnya, Aminuddin (1987 : 67) berpendapat bahwa:
“setting (latar) juga berlaku dalam cerita fiksi karena peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita fiksi juga selalu di latar belakangi oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Akan tetapi, dalam karya fiksi setting atau latar bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis, setting juga memiliki fungsi psikologis sehingga setting pun mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yangmenggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya. Dalam hal ini telah diketahui adanya setting yang metaforis”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar adalah ruang atau tempat bahkan periode sejarah yang dapat diamati suasana terjadinya peristiwa di dalam karya sastra atau dengan kata lain setting adalah peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987: 68) membedakan antara setting (latar) yang bersifat fisikal dengan setting (latar) yang bersifat psikologis yakni:
1. setting yang bersifat fisikal berhubungan dengan tempat, misalnya kota Jakarta, daerah pedesaan, pasar, sekolah, dan lain-lain serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan makna apa-apa, sedangkan setting psikologis adalah setting berupa benda-benda dalam lingkungan tertentu yang mampu menuansakan suatu makna serta mampu mengajak emosi pembaca.
2. setting fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan setting psikologis dapat berupa nuansa maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu.
3. untuk memahami setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat dariapayanga tersirat, sedangkan pemahamann terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran.
4. terdapat saling pengaruh dan petumpangtindihan antara setting fisikal dengan setting psikologis.
Sejalan dengan itu, Sudjiman (Maini 1997 : 4 ) berpendapat bahwa pertama-tama latar memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya. Selain itu, adanya latar berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para pelaku. Dan menurut Jakob Sumardjo (1988) latar sebagai berikut :
Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya (dapat di pahami melalui panca indra).
Latar fisik dapat di bedakan menjadi dua yaitu :
1. latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
2. latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasipemikiran tertentu.
Kemudian latar sosial, latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial, sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, serta meyakini adanya magis berupa pawang dan lain-lain.


BAB III
 METODE

3.1 Pendekatan Analisis
Adapun metode yang di gunakan pada analisis novel ini yaitu metode penelitian dengan pendekatan struktural. Tidak seperti pada pendekatan lain, pendekatan struktural merupakan pendekatan yang sudah sangat sering di gunakan. Hal ini menandakan bahwa pendekatan ini mudah di pahami dan di laksanakan dalam pengkajian sastra. Pendekatan ini bertujuan untuk membongkar dan memperkaya secara cermat, keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh.
Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra yaitu tema, alur, tokoh, latar, dan gaya bahasa. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi tujuan analisis ini yaitu pengkajian terhadap pencitraan unsur novel Karena Kutahu Engkau Begitu tetapi dalam analisis in hanya dititikberatkan pada pengkajian dan pencitraan baik tokoh, alur, maupun latar, inilah yang menjadi alasan mengapa penulis menggunakan pendekatan struktural ini.
Karena tujuan dari analisis adalah pengkajian dan pencitraan baik tokoh, alur, maupun latar dalam novel Karena Kutahu Engkau Begitu karya Almino Situmorang, maka metode penelitian yang dipakai adalah metode deskriptif. Semua data yang didapatkan akan dideskripsikan, dianalisis, dan diinterpretasikan berdasarkan kategori yang sudah ditetapkan.

3.2 Sumber dan Sampel Data
Populasi analisis adalah sebuah novel  yang berjudul Karena Kutahu Engkau Begitu  karya Almino Situmorang. Sampelnya adalah semua kalimat, kata, frase, anak kalimat yang terkait dengan pendikripsian dari alur, tokoh, maupun.latar novel ini.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dipakai dalam pengambilan data adalah ‘baca-catat’. Dalam artian bahwa penganalisis akan mengambil kalimat, kata, frase, anak kalimat apa pun yang dianggap sesuai dengan maksud dan tujuan analisis novel ini
3.4 Teknik Analisis Data
Data akan dianalisis dan akan dimasukkan ke dalam kategori yang sudah ditetapkan berdasarkan pengkajian dan pencitraan terhadap unsur-unsur pembangun sebuah karya sastra dari semua kalimat, kata, frase, dan anak kalimat tersebut yang ada dalam novel.
Adapun prosedur analisis data pada analisis ini menitikberatkan pada pengkajian unsur tokoh, alur, dan latar dalam novel Karena Kutahu Engkau Begitu adalah sebagai berikut :
1. Membaca teks sastra (dalam hal ini novel Karena Kutahu Engkau Begitu  karya almino Situmorang.
2. Mencari dan menentukan apa yang menjadi unsur-unsur yang membangun dalam hal ini, tokoh, alur, maupun latar dalam novel.

3.  Menganalisis dan mengklasifikasikan tokoh, alur, dan latar sesuai dengan kategori yang telah ditetapkan.
4.  Membuat kesimpulan mengenai hasil analisis data.



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar