BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini banyak lahir penulis-penulis yang karyanya begitu memukau para penikmat sastra. Ditambah dengan gaya penulisan yang digunakan dan ditambah anehnya pemaknaan puisi, membuat tulisan semacam puisi menjadi tambah beragam.
Puisi yang dilahirkan oleh pengarang dapat diyakini merupakan tuangan dari apa yang pernah berkenaan pada diri-diri mereka baik itu sebuah pengalaman yang pernah dialami sendiri atau pengalaman orang lain baik secara langsung maupun unsure ketidaksengajaan. Dengan mudah seorang penyair menuangkan dalam bentuk puisi dengan dipilihkannya kata yang betul-betul ia rasa dapat mewakili makna atau maksud dari perasaan mereka.
Ada beberapa penyair yang saya kenal, namun pada kesempatan ini saya akan mencoba menafsirkan makna-makna yang terkandung dalam sebuah puisi yang berjudul “Gerimis Rumah Kabut dan Aku di Dalamnya” yang ditulis oleh penyair muda Indonesia yaitu Bode Riswandi. Puisi ini sangat padat makna, butuh berkali-kali dan penuh penghayatan untuk menemukan makna. Dan saya akan berusaha memperoleh makna tersebut, meskipun berbeda dengan makna sebenarnya dari penulis. Hal seperti itu bukanlah sebuah masalah dalam penafsiran puisi. Karena setelah karya itu ditangan pembaca, maka pembacalah yang berhak memaknai penulisan puisi tersebut.
Karya-karya Bode Riswandi memiliki nilai-nilai agamis cukip tinggi sehingga memiliki daya tarik tersendiri untuk menghayatinya. Puisi ini tersurat dalam kumpulan puisi “Mendaki Kantung Matamu”, Bode Riswandi.
BAB II
PEMBAHASAN
Kepenyairan Bode Riswandi yang sangat menarik dan membuat saya ingin terus berlatih untuk memahami setiap makna yang ada pada puisi-puisinya.
Pada puisi yang berjudul “Gerimis Rumah Kabut dan Aku di Dalamnya” saya sangat yakin bahwa maknanya sangat ditutupi istilah-istilah dengan dengan rapi oleh penulisnya. Secara pribadi penafsiran yang saya lakukan terlebih dahulu terhadap judul. Judul yang diangkat oleh Bode Riswandi berupa kata ‘Gerimis’ yang saya tafsirkan sebagai awal turunnya hujan yang kita ketahui berupa turunnya air dari langit berupa titik-titik air yang berukuran kecil dimana mampu membuat segar dan sejuk segala yang ada dibumi. Dan kata ‘Rumah Kabut’, dimana kata rumah sedikit jelas maknanya sedangkan kabut menandakan sebuah kekelaman, ketidaknyataan atau kesuraman. Ada seorang ‘Aku’ ‘di Dalamnya’ berarti terdapat seseorang didalam rumah yang diturunkan anugrah berupa kesegaran dan kesejukkan namun semua itu tidak nyata dan kelam.
Puisi ini terdiri dari tiga stanza dimana masing-masing stanza terdiri atas tiga larik yang begitu padat makna. Pada bait pertama larik pertama, “Gerimis Melahirkan Cuaca di Rumahku”. Di mana sepengetahuan saya gerimis juga termasukdalam jenis cuaca penghujan atau kondisi yang mungkin menghadirkan sesuatu yang sangat berguna bahkan mungkin sangat buruk . Di rumahku kata ku di sini adalah seorang yang memiliki rumah dan ia ada di dalamnya. Selanjutnya di larik kedua yang berisi “jalan-jalan hening dalam pelataran batin” kata jalan-jalan yang saya tafsirkan suatu tempat yang dilalui banyak orang yang diinjak-injak yang selalu ramai tetapi dalam puisi ini jalannya hening dan ada dalam pelataran atau di dalam perasaannya, dan “mengusir nyanyian sungaiku” mungkin di sini mengikuti nyanyian yang merupakan sebuah hiburan untuk seseorang. Sungaiku, mungkin ini penyair bermaksud yang mengalir. Jadi intinya makna pada larik di bait tidak ada kepastian dan keramaian atau kebahagiaan hati seseorang yang hening dan tenang seperti hiburan yang biasa hadir terus-menerus seperti mengalirnya air di anak-anak sungai.
“Adalah gelisah yang meredam renungan saga”. Penyair menggambarkan adanya kekhawatiran atau ketidaktenangan yang dialami seorang yang meredam. Saya menafsirkan ada sesosok orang yang merasakan kegelisahan ini yang mengurangi atau sekaligus menghentikan khayalan atau lamunan tentang hal-hal yang pernah dialami oleh penulis. Renungan mungkin pemikiran yang berpusat atau atau sangat khusuk akan suatu hal dihentikan akan suatu kekhawatiran. Selanjutnya pada larik yang kedua di bait kedua yaitu “di antara ziarah kecil dan kumpulan jelaga”. Begitu tinggi imaji-imaji seorang Bode sehingga sangat jauh makna dari kata-kata yang ia pilah sebagai perwakilan ungkapan perasaannya. Dan pada larik kedua ini penyair menggambarkan keberadaan di antara atau di tengah-tengah sesuatu yaitu ziarah kecil yang mungkin mengandung makna kunjungan kecil di tempat keramat dimana tempat terakhir umat manusia pada saat di bumi, “dan kumpulan telaga” di sini saya menafsirkan bersatunya atau tersusunnya dari beberapa partikel yang sangat kecil yang dihasilkan oleh pembakaran yang hitam, yang kotor, yang melambangkan kekelaman, ketidakbaikan. Di sini antara larik satu dan dua berhubungan sangat erat, dimana terhentinya pemikiran yang sangat terpusat oleh ketidaktenangannya di tengah-tengah sesuatu yang keramat atau mengerikan dengan kekelaman. Selanjutnya pada larik ketiga yaitu “kabut ngalir menuju sesuatu yang senja”. Di sini ditegaskan kekelaman berjalan dengan lancar tanpa hambatan menuju kea rah sesuatu yang kelam.
“Maka aku sembunyi di kaki langit yang gusar
dipalu sebaris doa di jalan-jalan besar
kemudian hilang jadi baying-bayang…”
Pada bait yang ketiga ini penyair mencitrakan saking terpuruknya dan menginginkan suatu kebangkitan untuk ketegaran serta kembalinya ketegaran yang pernah ia miliki, dengan cara ia sembunyi di kaki langit yang gusar. Makna dari “kaki langit yang gusar” yaitu tempat yang penuh kesejukan, jauh dari keramaian untuk mendapat ketenangan lahir batin. Meskipun tempatnya penuh kesejukan, ada sedikit unsur kesembronoan namun terpatahkan karena niat yang besar dan ditegaskan pada larik berikutnya,”dipalu sebaris doa di jalan-jalan besar”. Dalam penafsiran saya bahwa doa merupakan salah satu caranya untuk memperoleh ketenangan dan kembalinya sesuatu yang membahagiakan ini tercermin pada kata “jalan-jalan yang besar” yang bisa jadi mengacu pada sebuah tempat yang selalu ramai, tempat orang berlalu lalang. Selanjutnya pada larik terakhir,”kemudian hilang jadi baying-bayang”. Dan di sinilah harapan terakhir penyair suratkan bahwa segala kekelaman, kengerian yang merasuk di benaknya dengan berserah diri kepada Tuhan dan mengungkapkan doa-doa sebagai ucapan permohonan menjadikan segalanya hanyalah hal yang tidak nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar