Tak...tak…tak...tum…tum…tum...tak…tak…tak…tum…
Malam semakin meriah dengan tabuhan gendang dan dekorasi panggung yang bertabur manik-manik berhiaskan lilin-lilin “sultaru”. Nampak para Kalambe Wuna (gadis-gadis Muna) yang anggun dan cantik jelita. Mereka berpakaian adat Muna lengkap dengan “kabadha” (kelengkapan aksesoris di kepala), dan duduk manis di kursi yang dilapisi kain putih. Di belakang mereka berdiri ibu masing-masing dengan wajah ceria dan senyum mengembang. Hal ini menandakan bahwa ada kebanggaan tersendiri dalam diri orang tua yang telah memiliki anak gadis dan anak gadisnya tersebut telah beranjak dewasa.
“Karia” memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Muna. Betapa tidak? Tradisi adat “karia” merupakan sebuah pintu gerbang menuju kedewasaan bagi kalambe-kalambe Muna, sehingga makna yang melekat pada tradisi ini harus diletakkan sebagai sebuah filterisasi bagi kalambe Muna dalam memaknai gesekan prilaku yang berkembang akibat modernisasi. Artinya, makna “karia”, dijadikan sebagai pensucian dan kesiapan menuju kedewasaan, dan harus siap untuk bersikap dalam melihat realitas hidup yang semakin keras. Adat “karia“ juga merupakan suatu prosesi yang wajib dijalani oleh seorang gadis sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Sehhingga orang tua merasa bertanggung jawab jika anak gadisnya sudah beranjak dewasa.
Sungguh menyenangkan bagi seorang kalambe Muna yang sedang menjalani tradisi ini. Mengapa? Jika kita ikuti, tradisi adat ”karia” berlangsung selama 4 hari 4 malam. Malam pertama, disebut malam “kafoluku” (masuknya para gadis dalam kamar pingitan). Sebelum masuk dalam “kaghombo” (kamar pingitan) ada ritual-ritual yang harus dijalani para gadis. Diawali dengan dimandiakannya para gadis oleh orang tua yang dipercaya (modhi) yang disebut ritual “kakadiu”. Setelah itu, para gadis dipersilahkan duduk ditikar dari daun kelapa hijau (ponda) dengan hanya mengenakan sarung. Kemudian, disuruh mengambil ketupat yang disediakan di talang besar dengan cara membelakang dan menggunakan tangan kanan. Ritual ambil ketupat ini menunjukkan ramalan nasib sang gadis masa depan. Selanjutnya, para gadis masuk satu persatu ke dalam “kaghombo” dengan berjalan jongkok. Di dalam “kaghombo” (kamar pingitan) ada aturan-aturan yang harus ditaati oleh para gadis, yaitu tidak boleh berdiri, tidak boleh buang air besar, tidak boleh menggaruk pakai tangan kecuali pakai sisir.
Malam kedua pingitan disebut malam “kaghombono patirangga”. Pada malam kedua ini ada dua pasang remaja yang dipercayakan untuk mengambil air, lalu disimpan (doghomboe) . Malam ketiga disebut malam “kaalanao patirangga”. Pada malam “kaalano patirangga” (mengambil bunga paci), dua pasang remaja mengambil bunga paci untuk dipakai oleh para gadis yang dipingit. Pada hari ke-4, ada tradisi “kabahalengka” yaitu kamar pingitan dibuka. Dilanjutkan dengan acara merias yang dinamakan “kabhindu”. Dalam acara ini diiringi dengan pukulan gong dan tabuhan gendang yang menambah semarak acara “kabhindu” tersebut.
Setelah malam hari tiba, di sinilah dinamakan malam “kafosampu” yaitu para gadis yag telah dirias digendong sampai di atas panggung. Setelah para gadis duduk dan lilin-lilin “sultaru” menyala, muncul ritual “kafotanda”. Ritual ini dilakukan oleh orang tua (modhi) yang disebut “fokantandano”, sebagai tanda selamat telah selesai atau melewati acara pingitan kepada para gadis yang dipingit.
Acara puncak pada malam “kafosampu” adalah para gadis yang dipingit menari di atas panggung. Tarian ini didahului dengan menarinya “sumareno” (yang membuka acara tari). Diiring dengan tabuahan gendang oleh “karia kogandano”. Para gadis menari dengan “osamba” (selendang putih). Selanjutnya pada saat menari, para gadis mendapatkan hadiah dari para pengunjung atau para penonton, baik keluarga, teman,atau kerabat dekat. Proses pemberian hadiah adalah dengan melemparkan hadiah yang akan diberikan kepada gadis yang dipingit tepat saat ia menari. Seperti itulah, para gadis menari satu persatu dari “matansala” (pimpinan) sampai selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar